Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu “demos” artinya rakyat dan kratos/kratein artinya pemerintahan.Jadi demokrasi bisa kita artikan sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.yang artinya, pemerintahan dimana rakyat memegang peranan penting. Itulah pengertian demokrasi kalo kita lihat dari asal katanya.
Bagi banyak orang, istilah demokrasi diartikan sebatas hanya sebagai demokrasi pemerintahan (governmental democracy).
Sebenarnya pengertian demokrasi yang lebih luas, seperti misalnya yang pernah dirumuskan oleh institute democracy and electoral assistance mengandung makna adanya kesetaraan dan kendali oleh rakyat kebanyakan (popular control and quality).
Unsure kunci dalam pengertian partisipasi ini bukan semata – mata melalui pemilihan umum saja, ia juga mengandung suatu system yang benar – benar menjamin terwujudnya semau hak – hak social dan ekonomi, selain hak – hak sipil dan politik serta pendidikan kewarga negaraan.didalamnya harus ada budaya partisipasi dimana rakyat membutuhkan sedikit kemampuan dan sumber daya untuk berperan.(steele,2002)
Saat ini banyak orang bicara mengenai masalah demokrasi.tapi hanya sedikit yang mempraktekkannya.banyak orang yang menganjurkan perubahan, tetapi kurang jelas perubahan apa yang dimaksud.perubahan yang sipat personal? Apa perubahan institutional?yang jelas kebanyakan orang menginginkan perubahan institutional dengan kata lain, tebentuknya institusi atau lembaga – lebag demokratis.
Bagi banyak orang, istilah demokrasi diartikan sebatas hanya sebagai demokrasi pemerintahan (governmental democracy).
Sebenarnya pengertian demokrasi yang lebih luas, seperti misalnya yang pernah dirumuskan oleh institute democracy and electoral assistance mengandung makna adanya kesetaraan dan kendali oleh rakyat kebanyakan (popular control and quality).
Unsure kunci dalam pengertian partisipasi ini bukan semata – mata melalui pemilihan umum saja, ia juga mengandung suatu system yang benar – benar menjamin terwujudnya semau hak – hak social dan ekonomi, selain hak – hak sipil dan politik serta pendidikan kewarga negaraan.didalamnya harus ada budaya partisipasi dimana rakyat membutuhkan sedikit kemampuan dan sumber daya untuk berperan.(steele,2002)
Saat ini banyak orang bicara mengenai masalah demokrasi.tapi hanya sedikit yang mempraktekkannya.banyak orang yang menganjurkan perubahan, tetapi kurang jelas perubahan apa yang dimaksud.perubahan yang sipat personal? Apa perubahan institutional?yang jelas kebanyakan orang menginginkan perubahan institutional dengan kata lain, tebentuknya institusi atau lembaga – lebag demokratis.
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut
Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “ istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.
Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut :
- Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
- Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi : (1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(2) Pers yang bebas
(3) Supremasi hukum
(4) Perguruan Tinggi
(5) Partai politik - Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
- Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
- Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
- Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
- Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi
Dewasa ini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Tetapi perkembangannya menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.
Memencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita. Namun banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.
Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani bias berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota,yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.
Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.
Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Atau dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim.
Pemetaan tentang civil society pernah dilakukan oleh Michael W. Foley dan Bob Edwards yang menghasilkan Civil Sosiety I dan Civil Society II. Namun dalam perkembangannya , terdapat analisis yang mencakup dari kedua aspek (civil Society I dan II), hingga menghasilkan kombinasi atau tipe Civil society III.
Dalam wacana civil society I di Indonesia lebih menekankan aspek horizontal dan biasanya dekat dengan aspek budaya. Civil society di sini erat dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity”. Aspek ini dibahas pemikir masyarakat madani atau madaniah yang mencoba melihat relevansi konsep tersebut (semacam “indigenisasi”) dan menekankan toleransi antar agama. Analis utama dalam kelompok ini adalah Nurcholish Madjid yang mencoba melihat civil society berkaitan dengan masyarakat kota madinah pada jaman Rosulullah.Menurut Madjid, piagam madinah merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi, sementara toleransi di Eropa (Inggris ) baru dimulai dengan The Toleration Act of 1689.
Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari kelompok yang menggunakan “civil society’ dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir utamanya. Perdebatan utamanya terletak pada bentuk masyarakat ideal dalam civil society tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan “Islam cultural” namun contoh masyarakat Madinah kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia.
Selain civil society dan masyarakat madani, konsep masyarakat warga atau kewargaan digunakan pula oleh Ryaas Rasyid dan Daniel Dhakidae. Wacana dalam civil Society II memfokuskan pada aspek “vertical” dengan mengutamakan otonomi masyarakat terhadap negara dan erat dengan aspek politik. Dalam civil society II, istilah “civil” dekat dengan “citizen’ dan “liberty”. Terjemahan yang diIndonesiakan adalah Masyarakat warga atau masyarakat kewargaan dan digunakan oleh ilmuwan politik . Pemahaman civil society II intinya menekankan asosiasi diantara individu (keluarga) dengan negara yang relatif otonom dan mandiri. Namun, terdapat perdebatan apakah partai politik atau konglomerat termasuk disini atau apakah semua organisasi yang non-negara merupakan civil society. Jadi civil society II dapat bermakna beragam dan ada pula yang mndefinisikan “civil society’ sebagai “the third sector” yang berbeda dari pemerintah dan pengusaha.
Pembahasan civil society III merupakan upaya untuk mempertemukan civil sosiey I dan civil society II. Kombinasi antara Civil society I dan II yang menjadi civil society III telah dibahas oleh Afan Gaffar di bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju demokrasi (1999). Dibahas pula oleh Paulus Wirutomo dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berjudul Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi. Konsep civil society III ini yang dirasa relevan dengan masyarakat Indonesia dimana keadaan vertical (antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi dan partisipasi erat kaitannya dengan situasi horizontal atau SARA. Kedua aspek tersebut mengalami represi dan sejak reformasi 1998 muncu ke permukaan dan membutuhkan perhatian dalam proses re-integrasi.
Maka dari itu, perspektif masyarakat madani di Indonesia dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratif, dengan landasan taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa. Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamaddun). Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).
Di sini pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negative”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus difahami sebagai ‘pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.
Di Indonesia, pluralisme dalam keberagamaan dapat dibagi menjadi 3 jaman perkembangannya, yaitu:
1. Pluralisme cikal-bakal. Yang di maksud istilah ini adalah pluralisme yang relative stabil, karena kemajemukan suku dan masyarakat pada umumnya masih berada dalam taraf statis. Mereka hidup dalam lingkungan yang relative terisolasi dalam batas-batas wilayah yang tetap, dan belum memiliki mobilitas yang tinggi karena teknologi komunikasi dan transportasi yang mereka miliki belum memadai. Agama-agama suku hidup dalam claim dan domain yang terbatas, tidak berhubungan satu dengan lainnya. Keadaan seperti ini tidak banyak berubah sampai datang pengaruh agama yaitu agama Hindu dan Budha dengan tingkat peradabannya masing-masing.
2. Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13 ketika agama islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul dengan kedatangan agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun Protestan) pada kira-kira abad 15. konflik dan peperangan mulai terjadi diantara kerajaan islam di pesisir dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Ketika penjajah dating dengan konsep “God, Gold, and Glory”, persaingan antara Islam dan Kristen terus berlangsung hingga akhir abad 19.
3. Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak dominasi Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya “negara” Nederland Indie. Kenyataan negara ini menjadi sebuah kesatuan organic yang memiliki satu pusat pemerintah yang mengatur kehidupan berdasarkan hukum dan pusat kekuasaan yang riil. Pluralisme SARA memang diperlemah, disegregasikan, , dan dibuat terfragmentasikan demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya mansipasi SARA pun terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar